Selasa, 15 Oktober 2013

Saat Belajar Kesalahan

*** Di tengah keraguaan tentang kelulusaan sarjana, yang mencuat takala media menyebar pemberitaan, tak tau siapa yang benar dan salah, hal ini nampak seperti koin yang mempunyai sisi berlainan dan saling menutupi, mempublikasi kelulusan Fajrian (alumni FISIP 2011) yang dikabarkan telah manjadi Pegawai Negri Sipil (PNS) di DKI Jakarta, Pada ahirnya banyak pihak yang menimbulkan pertanyaan, pasalnya dia adalah angkatan 2002 dan lulus 2011, maka setidaknya hal ini yang ahirnya menjadi potret pembelajaran UNILA. Apalagi status Universitas Negri satu-satunya di Propinsi Lampung, layaknya UNILA mengemban amanah begitu berat, selain sebagai tauladan juga di tuntut sebagai cerminan pendidikan regional (wilayah) dan nasional, namun yang menjadi masalah jikalau output unila masih dipertanyakan media, lantas bagaimana dengan peran pendidikan yang dibanggakan. Mungkin hal ini yang menggugah hati mereka yang mengatas namakan Aliensi Peduli Universitas Lampung yang terdiri atas gabungan oraganisasi mahasiswa baik di tingkat universita dan fakultas, melakukan demontrasi damai di depan gedung rektorat pada Senin (20/05/2013) , dengan tuntutan global kesarjananan Fajrian yang tak prosedural. Dalam hal ini kita tak bisa menilai mana yang benar dan salah, namun sebagaimana wacana yang selalu dicari adalah penyelesaian, bukanlah kita selama ini banyak membicarakan kesalahan yang tak juntrung menuai titik terang, agaknya ada hal yang terlupakan yaitu relevansi (keterkaitan) antara mahasiwa dan para fasilitator kampus yang mempunyai peran penting dalam kelangsungan pendidikan. Cerminan mahasiswa sendiri sekarang tergambar dari ungkapan Mahfud MD (Mantaan Mahkama Kontitusi) tentang lulusan universitas bukan berarti aset, tetapi menjadi beban negara (Kompas, 2012), kata itu beliau lontarkan ketika Dies Natalis di UNHAS (Universitas Hasanudin) Propinsi Makasar, maka dapatlah disimpulkan kenyataan yang ada serta investigasi yang terjadi, mahaiswa saat ini sebagai agent of change belum sesuai kiteria. Realitasnya memang demikian, Mahasiswa (Khususnya UNILA), Saat ini bukan lagi mementingkan kualitas tapi lebih mementingkan nilai formalitas (Indeks Prestasi ataupun Indeks Prestasi Komulatif) , Yang bisa saja di dapat dari menyontek penanaman nilai ketidak jujuran atau pengaruh nepotismne yang membudidaya, hasilnya tentu tak semaksiamal yang diharapakan, sebut saja koruptor yang awalanya tercipta dari para akademisi yang mempunyai peran perubahan, dengan ketidak jujuran ahirnya merugikan rakyat sebagai penguasa, belum lagi masalah nepotisme dalam sistim pendidkan akan membuat orang teralienasi (terasingkan) takala menempati bidang yang bukan menjadi keinginanya (tori Karl Mark dlm M.Sihaan, Hotman 1986) Kedua adalah fasilitator kampus yang berfungsi menjebatani semua hak dan kewajiban secara seimbang, mencuatnya masalah kesarjanaan setidaknya menjadi pengoreksian bagi para fasilitator agar lebih meningkatkan ketajaman serta keseriusan dalam menagani segala kewajiban. Jika hak dan kewajiban tidak dibarengi secara seimbang otomatis konflik internal takan bisa di selesaikan, Pembangunan di berbagai gedung fakultas berserakan, aturaan rambu jalan yang banyak dilanggar, serta kebersihan birokrasi yang masih dipertanyakan adalah contoh kongrit yang saat ini terlihat. Maka seharusnya sudah saatnya UNILA belajar dari berbagai kesalahan, secara de facto (kenyataan), sehingga nantinya manfaat out put mahasiswa bisa dirasakan masyarakat lampung yang dirasa tinggi mengalami berbagai berbagai macam konflik. Apalagi 48 tahun lamanya, usia yang tak lagi muda, seharusnya UNILA memang memunculkan eksitensinya sebagai perguruan tinggi yang bisa menjadi acuan bagi masyrakat luas, maka salah satu PR terbesar UNILA bagi semua elemant adalah terciptanya pendidikan berkualitas. Ahirnya setelah perbaikan internal diutamakan sebelum memperbaikai secara external, nantinya terwujud pendidikan berkwalitas, semuga !

0 komentar:

:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:

Posting Komentar